Persembahan Korban dalam PL dan PB

Persembahan korban adalah salah satu tema dalam Alkitab. Perjanjian Lama mengisahkan praktik persembahan korban yang dilakukan umat pilihan yaitu bangsa Israel kala itu, kemudian persembahan korban juga dilakukan pada zaman Perjanjian Baru, selanjutnya silakan simak tulisan berikut ini:

1. Zaman kerajaan.

Pembangunan Bait Allah oleh Salomo menuntut upacara penahbisan dengan penyerahan korban persembahan (1 Raj 8:62 dab) dan korban-korban biasa (1 Raj 9:25). Tapi karena sumber informasi itu adalah beberapa kitab tentang 'raja-raja', maka kitab-kitab itu lebih berbicara tentang peranan raja (bnd 2 Raj 16:10 dab) ketimbang peranan rakyat. Bahwa upacara harian keagamaan berjalan terus, dinyatakan oleh ay seperti 2 Raj 12:16, dan oleh seringnya hal itu disebut dalam kitab nabi-nabi dan mazmur-mazmur. Beberapa hunjukan dalam mazmur menyatakan bahwa kutukan-kutukan dahulu janganlah diartikan mutlak, seolah-olah kelompok nabi bertentangan dengan kelompok imam. Para nabi tidak seberapa keras menentang upacara itu sendiri, tapi keras menentang ide-ide yg melibatkan peranan sihir yg diambil dari upacara-upacara kesuburan (Am 4:4, 5; Yes 1:11-16), dan terhadap hal-hal yg baru seperti menyembah berhala dan mengorbankan anak-anak yg diperkenalkan oleh penguasa yg murtad (Yer 19:4; Yeh 16:21).
Tokoh seperti Yesaya dapat memperoleh panggilannya di Bait Allah (Yes 6), dan tokoh Yeremia atau Yehezkiel dapat menemukan tempat bagi upacara pemurnian di masa datang (Yer 17:26; Yeh 40-48). Hal ini juga merupakan perasaan yg dominan di kalangan pemazmur, yg terus-menerus berbicara tentang korban persembahan pengucapan syukur mereka guna memenuhi nazar sumpah mereka (mis Mzm 66: 13-15). Ungkapan tentang pertobatan dan kesukacitaan berkat pengampunan juga ada (Mzm 32; 51), dan meskipun korban tidak sering disebut dalam konteks-konteks itu, toh dapat diandaikan ada sebab pengampunan itu dialami di Bait Allah (Mzm 65:1-5). Tidak perlu menganggap semua acuan macam itu berasal dari zaman pasta pembuangan, walaupun keluhan para nabi bahwa pertobatan acap kali tidak cukup menyertai korban dalam periode kerajaan yg terakhir harus juga diingat.

2. Zaman pasca pembuangan.

Musibah 'pembuangan' biasanya dinalar sebagai mendampakkan pengakuan berdosa yg lebih mendalam. Bahwa hal itu benar tidak perlu diragukan (lih 2 Raj 17:7 dab; Neh 9), tapi tidak dalam pengertian seperti dikemukakan oleh Wellhausen, bahwa nada menebus dosa barulah waktu itu memasuki agama Israel (Im 1-7 dan 16). Acuan-acuan terhadap korban persembahan dalam tulisan-tulisan yg tidak berasal dari kelompok imam pra dan pasca pembuangan, yg umumnya terlalu fragmentaris untuk menyoroti masalah itu, tidak menunjang teori tersebut. Kesukacitaan maupun pertobatan tetap mencirikan korban (Ezr 6:16-18; Neh 8:9 dab). Bait Allah dan upacara dihargai (Hag 1-2; Yl 2:14, dan terutama Taw), namun hanya selama itu merupakan wahana bagi ibadah yg sungguh (Mal 1:6 dab; 3:3 dab). Kesusastraan apokaliptik dan kebijaksanaan menganggap upacara sebagai sesuatu yg sudah ada (Dan 9:21, 27; Pkh 5:4; 9:2) dan juga melanjutkan penekanan moral khas nabi (Pkh 5:1; Ams 15:8).

3. Peraturan-peraturan hukum

Hukum tentang korban persembahan berserakan dalam Kitab-kitab hukum (Kel 20:24 dab, 34:25 dab; Im 17; 19:5 dab; Bil 15; Ul 12, dll), tapi 'torat' tentang korban itu terutama ialah Im 1-7. Ps 1-5 secara berurutan menyangkut korban bakaran ('ola), korban sajian (minkha), korban pendamaian (zevakh), korban penghapus dosa (khatta't), dan korban penebus salah ('asyam), sedangkan ps 6-7 memberikan tambahan peraturan untuk kelima-limanya -- 6:8-13 (bakaran), 7:11 dab (pendamaian).
Korban yg akan dipersembahkan haruslah ternak atau burung yg halal (Kej 8:20). Jadi bisa lembu jantan, kambing, domba, merpati (bnd Kej 15:9), tidak onta atau tidak keledai (Kel 13:13) Ketentuan macam itu janganlah dilacak sampai pada gagasan bahwa korban itu untuk santapan 'dewa-dewa' (bahwa dewa memakan apa yg dimakan manusia) -- seperti yg mungkin terkesan oleh Im 3:11; 21:6; Yeh 44:7 -- karena ikan (Im 11:9) dan binatang-binatang liar (Ul 12:22) boleh dimakan tapi tidak boleh dijadikan korban. Nampaknya prinsipnya ialah, manusia wajib memberi kepada Allah sesuatu yg adalah milik manusia itu sendiri (bnd 2 Sam 24:24); binatang liar dianggap adalah kepunyaan Allah, bukan kepunyaan manusia (Mzm 50:9 dab; Yes 40:16), sedangkan binatang piaraan adalah milik manusia oleh pekerjaannya (Kej 22:13 sebenarnya bukan pengecualian), dan berada dalam semacam 'kesesuaian biotik' dengan dia. Hal ini lebih jelas dalam hal korban tanpa darah, yg dihasilkan dengan 'keringat di alisnya' (biji-bijian, tepung, minyak, anggur, dll), dan yg senantiasa dimakan. Hal-hal yg dimiliki tidak sesuai dengan hukum, tidak boleh dipersembahkan (Ul 23:18).

Prinsip 'yg terbaik bagi Tuhan' senantiasa dilaksanakan; dalam hal jenis kelamin, jantan lebih diutamakan ketimbang betina (Im 1:3; tapi bnd Im 3:1; Kej 15:9; 1 Sam 6:14; 16:2); dalam hal umur, kematangan sangat dihargai (1 Sam 1:24); dalam hal kesempurnaan fisik, 'tanpa cacat' senantiasa ditekankan (Im 1:3; 3:1; Ul 15:21; 17:1; 22:17-25; bnd Mal 1:6 dab, tapi hendaknya dicatat perkecualian bagi korban persembahan sukarela, Im 22:23); dalam segi tertentu juga ihwal warna, dipilih warna merah (Bil 19:2), mungkin melambangkan darah (bnd lukisan-lukisan binatang yg terdapat dlm gua-gua prasejarah).

Perbedaan antara Israel dengan tetangga-tetangganya nampak jelas dalam penolakan terhadap perluasan prinsip ini sampai kepada puncaknya yg logis, yakni: korban anak sulung manusia. Mengorbankan anak-anak yg terdapat pada masa kerajaan yg terakhir (2 Raj 21:6), bahkan mengorbankan manusia dewasa pada waktu-waktu yg lebih dini (Hak 11:29 dab), berasal dari pengaruh-pengaruh luar dan dikutuk oleh nabi-nabi (Yer 7:31 dab), perintah (Im 20:4), dan contoh (Kej 22). Kel 22:29b jelas harus ditafsirkan dengan Kel 34:19, 20 dan Kel 13:12-16. Prinsip penggantian diberlakukan tidak hanya dalam mengganti anak sulung manusia dengan binatang. tapi juga dalam ketentuan yg diberikan bagi orang miskin untuk mempersembahkan korban berupa burung dara yg lebih murah untuk korban penghapus dosa (Im 5:7), dan jika ini masih terlalu mahal, korban sajian (Im 5:11). Kalimat 'sekadar kemampuannya' (Im 14:22 dab) penting artinya di sini. Penuangan minyak (Kej 28:18), anggur (Kej 35:14), dan air (? 1 Sam 7:6 ) nampaknya mendapat tempat dalam upacara, namun hanya persembahan anggur yg diacu dalam hukum-hukum dasar (Bil 28:7 dll). Larangan terhadap adonan beragi dan madu (dgn beberapa pengecualian), dan mungkin juga susu yg boleh jadi karena cepat basi. Sebaliknya, garam tentu ditambahkan ke dalam korban persembahan, karena daya pengawetannya (hanya disebutkan dlm Im 2:13 dan Yeh 43:24, bnd Mrk 9:49). Kemenyan (levona, qetoret) digunakan baik sebagai korban persembahan yg berdiri sendiri (Kel 30:7, bnd cara pembuatannya dlm ay 34-38) maupun sebagai salah satu dalam korban sajian (Im 2).

Peraturan yg ada meliputi baik korban persembahan nasional maupun perseorangan, peristiwa sehari-hari dan hari-hari raya. Korban persembahan umum paling utama ialah yg bersifat musiman seperti Hari Raya Roti Tidak Beragi, Hari Raya Menuai, dan Hari Raya Pondok Daun (Kel 23:14-17; 34:18-23; Ul 16). Dari sejak awal, hari raya pertama sudah dikaitkan dengan Paskah (Yos 5:10-12), dan yg terakhir sangat mungkin sekali dengan upacara membaharui perjanjian (Kel 24; Ul 31:10 dab; Yos 24), tahun baru dan penebusan dosa (bnd Im 23:27 dab). Daftar korban persembahan untuk upacara ini dan tambahannya secara bulanan (bulan baru), mingguan (sabat), harian (pagi dan malam), disajikan dalam Bil 28:29 dan dapat didaftarkan sbb: (A. R. S Kennedy, 1910:349) Kapan dimulai korban bakaran yg dilakukan sehari dua kali itu masih diteliti dan sulit untuk mendapatkan kepastiannya karena sifat minkha yg bermakna ganda bagi korban sajian maupun bakaran. Acuan-acuan pokoknya ialah 'Ola dan minkha yg juga tanpa catatan waktu dalam 1 Sam 3:14; Yer 14:12, dan Mzm 20:3, dan kesinambungan 'olot dan minkhot dalam Ezr 3:3 dab dan Neh 10:33.

Korban persembahan yg lebih bersifat pribadi adalah Paskah, yg dirayakan di dan oleh keluarga (Kel 12; bnd 1 Sam 20:6, tapi ini adalah bulan baru, bukan purnama), dan korban perseorangan seperti untuk memenuhi sumpah (1 Sam 1:3, bnd ay 21; 2 Sam 15:7 dab), atau pengukuhan perjanjian (Kej 31:54), penghormatan akan Tuhan (Hak 13:19), penyerahan pribadi (1 Raj 3:4), urapan (1 Sam 16:3), atau penebusan (2 Sam 24:17 dab). Apakah memberi tumpangan kepada seseorang selalu dipandang sebagai peristiwa korban tidaklah jelas (Kej 18; Bil 22:40; 1 Sam 28:24 mungkin tidak mencakup upacara mezbah, tapi bnd 1 Sam 9). Peristiwa-peristiwa tambahan yg disebut dalam hukum adalah penyucian penderita kusta (Im 14), penyucian sesudah kelahiran bayi (Im 12), penahbisan imam (Im 8-9) atau seorang bani Lewi (Bil 8), dan pembebasan seorang nasir dari sumpahnya (Bil 6). Korban persembahan yg agak jarang ialah penahbisan tempat suci (2 Sam 6:13; 1 Raj 8:5 dab, Yeh 43:18 dab; Ezr 3:2 dab), penobatan raja (1 Sam 11:15; 1 Raj 1:9), dan hari pertobatan nasional (Hak 20:26; 1 Sam 7) atau persiapan untuk pertempuran (1 Sam 13:8 dab; Mzm 20).

Di antara korban persembahan musim yg diserahkan sebagai kewajiban tahunan, dalam rangka mengakui kemurahan Tuhan memberikan hasil ialah anak sulung dan panen pertama (Kel 13; 23:19; Ul 15:19 dab; 18:4, 26; Bil 18; bnd Kej 4:3, 4; 1 Sam 10:3; 2 Raj 4:42), persepuluhan, seberkas tuaian pertama (Im 23:9 dab) dan tepung jelai yg pertama (Bil 15:18-21; Yeh 44:30; bnd Im 23:15 dab). Mungkin tujuannya bukan untuk menguduskan sisa dari hasil seluruhnya, melainkan untuk melepaskannya dari kekhususannya. Semuanya adalah milik Tuhan sampai bagian pertama dipersembahkan dan diterima mewakili seluruh panen. Setelah penyerahan korban persembahan itu barulah ditiadakan pembatasan atas sisanya untuk digunakan oleh manusia (Im 23:14; bnd 19:23-25). Bahkan bagian yg dipersembahkan itu biasanya diserahkan di mezbah hanyalah sebagai bukti, kemudian diambil untuk dimanfaatkan oleh imam atau untuk perjamuan korban. Halnya juga sama atas roti hunjukan mingguan.

Korban persembahan utama sesuai Im 1-5 dibahas dalam kerangka penyelenggaraan enam upacara keagamaan yg kaku. Tiga di antaranya dilakukan oleh penyembah dan yg tiga lagi oleh imam. Upacara penyerahan korban persembahan untuk pengampunan dosa, beberapa kali diulangi untuk berbagai tingkatan (Im 4:1-12; 13:21; 21:26; Im 27-31), mengikuti skema yg sama, kecuali dalam hal-hal yg kecil. Korban bakaran berupa unggas (Im 1:14-17) dan korban sajian (Im 2) menunjukkan keanekaragaman, namun tidak seluruhnya berbeda. Rumus yg serupa untuk korban penghapus salah tidak diberikan (kendati demikian bnd 7:1-7), tapi itu harus dimengerti termasuk dalam hukum korban penghapus dosa (Im 7:7).

(i) Penyembah membawa persembahannya mendekat (higriv) (juga hevi, 'asah). Tempat penyerahan korban adalah ruang depan Kemah Perjanjian, di sebelah utara mezbah (untuk korban bakaran, penghapus dosa dan salah, tapi tidak untuk korban pendamaian yg lebih banyak), walaupun pada masa yg lebih awal mungkin di pintu Kemah Suci (Im 17:4), atau tempat suci setempat (1 Sam 2:12 dab) atau batu karang (1 Sam 6:14) atau tugu (Kej 28:18). Membunuh korban persembahan di mezbah, walaupun tersirat di Kej 22:9 dan Kel 20:24, tidak biasa.

(ii) Penyembah meletakkan kedua tangannya (samakh), atau pada zaman Alkitab mungkin satu tangan (lih Bil 27:18) pada korban, dan besar kemungkinan sambil mengakui dosanya. Hal kedua disebut hanya dalam kaitan mempersembahkan kambing jantan di mana darah tidak ditumpahkan (Im 21), dan dengan beberapa korban penghapus dosa (Im 5:5) dan korban penghapus salah (Bit 5:7) (tapi bnd Ul 26:3; Yos 7:19, 20), sehingga semikha tidak pasti dapat diartikan pemindahan dosa. Pada sisi lain, belum cukup menganggapnya melulu tanda kepemilikan oleh pemilik, karena pertanda macam itu tidak berlaku atas korban tanpa darah kendati kedua perbuatan itu adalah sama.

Penyembelihan korban (syakhat) dilakukan sendiri oleh penyembah kecuali korban persembahan nasional (Im 16:11; 2 Taw 29:24). Dalam kesusastraan PL di luar Im kata kerja zavakh (mempersembahkan korban) dipakai, tapi mungkin mengacu kepada pemotongan daging korban sesudah penyembelihan, dan peletakan bagian-bagiannya di atas mezbah (mizbeakh, bukan misykhat) (demikian K Galling, Der Altar, 1925, hlm 56 dst). Untuk ini ntkh biasanya yg digunakan (1 Raj 18:23; Im 1:6), dan zavakh melukiskan korban-korban zevakhim, kecuali untuk beberapa bagian (Kel 20:24; 1 Raj 3:4; bnd 2 Raj 10:18 dab) dimana dihubungkan dengan 'olot. Mungkin dalam hal ini penggunaan kata kerja tersebut diperlunak, yg di dalam bahasa-bahasa serumpun bahkan dapat digunakan untuk sayuran yg dipersembahkan, dan dalam bentuk Piel Ibrani nampaknya umum digunakan bagi keseluruhan upacara (yg sering murtad). Jadi penggunaan zevakh tidaklah pasti selalu terkait dengan korban, atau apakah daging hanya dapat dimakan pada saat penyerahan korban, kendati memang sering demikian pada zaman purba (bnd masalah daging persembahan berhala di Korintus).

(iv) Penggunaan (zaraq) darah adalah urusan imam, yg menampungnya di dalam sebuah bejana dan menempatkannya di sudut timur laut dan barat daya dari mezbah, sedemikian rupa, sehingga keempat sisi mezbah itu dapat kena percikannya. Halnya sama dengan penyerahan korban bakaran binatang (Im 1), korban pendamaian (Im 3), dan korban penghapus salah (Im 7:2), tapi tidak dengan korban bakaran unggas (Im 1:15), karena jumlah darah tidak mencukupi, sehingga dipercikkan hanya pada sisi mezbah saja. Korban penghapus dosa (Im 4) menggunakan beberapa kata kerja yg berbeda, hizza ('memercik') atau natan ('menaruh') tergantung apakah korban itu tergolong tingkat pertama atau kedua (lih di bawah). Pembakaran (hiqtir) terjadi atas semua korban. Karena darah dan lemak adalah milik Tuhan, maka kedua bagian itulah yg pertama dibakar (Kej 4:4; 1 Sam 2:16). Lemak ini bukanlah lemak biasa, tapi lemak khusus seperti lemak ginjal, hati, dan usus. Dari korban pendamaian, penghapus dosa, dan penghapus salah hanya lemak jenis inilah yg dibakar. Dari korban sajian suatu bagian yg disebut 'azkara dipisahkan untuk dibakar, tapi korban-korban seluruhnya dibakar kecuali kulit, yg menjadi bagian imam (Im 7:8). Pembakaran yg lain (saraf) yg dilakukan jauh dari mezbah berkaitan dengan korban-korban dosa yg tergolong tingkat pertama. Dalam pembakaran ini kulit korban persembahan juga turut dibakar.

Bagian-bagian yg tersisa dari daging korban ('akhal) dimakan dalam perjamuan korban, baik oleh imam-imam bersama para penyembah (korban pendamaian), atau oleh imam-imam dan keluarga mereka, atau hanya oleh para imam. Makanan untuk imam digolongkan sebagai yg suci atau yg teramat suci. Golongan pertama mencakup korban-korban pendamaian (Im 10:14; 22:10 dab), panenan pertama dan persepuluhan (Bil 18:13), dan dapat dimakan oleh keluarga imam di tempat mana saja asal bersih. Golongan kedua mencakup korban penghapus dosa (Im 6:16), roti hunjukan (Im 24:9), dan dapat dimakan hanya oleh imam-imam dan di dalam Bait Allah. Pesta perjamuan massal yg jamuannya berasal dari korban pendamaian digemari dalam ibadah lokal pada zaman dulu (1 Sam 1:9), tapi dengan pensentralisasian ibadah di Yerusalem (bnd Ul 12) maka kecenderungan itu lebih memberi tempat ke aspek-aspek formal ibadah. Namun upacara serupa masih terus berlangsung sampai zaman Yeh 46:21-24.

Zaman Dunia PB

Zaman Perjanjian Baru yang dimaksud disini adalah zaman di mana dimulainya kelahiran dan pelayanan Yesus serta murid-murid-Nya. Pada zaman itu bagaimana terdapat praktik persembahan korban. Kitab Perjanjian Baru memberi pemahaman bahwa korban-korban yang dipersembahkan di dalam Perjanjian Lama adalah sebagai lambang yang menunjuk pada karya penebusan Yesus dari Nazaret sebagai Mesias. Yohanes pembabtis mengenali dan menyatakan bahwa Yesus sebagai Anak Allah yang menghapus dosa dunia (Yoh.1:29-34). Ketika Yohanes membabtis Yesus di Sungai Yordan, Yohanes memperkenalkan Dia sebagai Anak Domba yang menghapus dosa dunia (Bdk.Yoh. 1:29). Demikian juga, ketika Yesus mengatakan bahwa Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawanya bagi banyak orang (Mark. 10:45). Yesus sendiri memahami peranNya sebagai gembala yang baik yang mengorbankan nyawa untuk domba-dombaNya (Yoh. 10:10,12). Pada bagian lain, para penulis Perjanjian Baru menafsirkan penyaliban Yesus Kristus,sebagai korban sekali untuk selama-lamanya ( Rom 5:6-11; Ibr. 10:10,12).
Jadi penderitaan Yesus sebagai korban menunjuk, kepada apa yang tertulis dalam Yesaya 53; dimana termuat suatu gagasan menghapus dosa seperti “Anak Domba’ yang dipersembahkan pada saat hari pendamaian (Donald Guthri, 2008: 70-71)


Facebook Comment

[facebook]